bab 2
"Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Indonesia Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)"
bahwa periode antara tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem Demokrasi Palementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dibangun mengalami kendala yang mengakibatkan jatuh bangun kabinet. Periode ini disebut oleh Wilopo, salah seorang perdana menteri di era tersebut (1952-1953) sebagai zaman pemerintahan partai-partai. Banyaknya partaipartai dianggap sebagai salah satu kendala yang mengakibatkan kabinet/ pemerintahan tidak berusia panjang dan silih berganti. Sebagaimana pendapat Wilopo yang menyebut Demokrasi Parlementer sebagai zaman liberal: “… zaman kabinet silih berganti, zaman yang melalaikan pembangunan berencana. Itulah biasanya menjadi sebutan zaman ini”. (Wilopo, 1978) Namun demikian periode tersebut sesungguhnya tidak hanya menampilkan segi negatif saja melainkan juga terdapat berbagai segi positif sebagai bentuk pembelajaran berdemokrasi. Lebih lanjut Wilopo menegaskan bahwa: Sebaliknya harus diakui, bahwa zaman itu telah menjadi sebagian sejarah kita sejak merdeka dan berlangsung hampir satu dasa warsa, serta banyak unsurunsur di dalamnya yang patut kita pelajari lebih mendalam. (Wilopo, 1978). Ketika pemerintahan Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada Agustus 1950, RI kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan bentuk pemerintahan diikuti pula dengan perubahan undangundang dasarnya dari Konstitusi RIS ke UUD Sementara 1950. Perubahan ke UUD Sementara ini membawa Indonesia memasuki masa Demokrasi Liberal. Masa Demokrasi Liberal di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal tersebut membawa dampak terganggunya stabilitas nasional di berbagai bidang kehidupan. Perlu kalian ketahui bahwa sistem multi partai di Indonesia diawali dengan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, setelah mempertimbangkan usulan dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Pemerintah pada awal pendirian partai-partai politik menyatakan bahwa pembentukan partai partai politik dan organisasi politik bertujuan untuk memperkuat perjuangan revolusi, hal ini seperti yang disebutkan dalam maklumat pemerintah yang garis besarnya dinyatakan bahwa: 1) Untuk menjunjung tinggi asas demokrasi tidak dapat didirikan hanya satu partai. 2) Dianjurkan pembentukan partai-partai politik untuk dapat mengukur kekuatan perjuangan kita.3) Dengan adanya partai politik dan organisasi politik, memudahkan pemerintah mudah untuk minta tanggung jawab kepada pemimpinpemimpin barisan perjuangan. (Wilopo, 1978). Maklumat itu kemudian memunculkan partai-partai baru. Dari sinilah Indonesia mulai mengubah sistem pemerintahan dari Presidensial ke Parlementer yang diawali dengan Kabinet Syahrir. Mari kita lihat suasana pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung dari 1950-1959. Pada era itu ada tujuh kabinet yang memegang pemerintahan, sehingga hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Jatuh bangunnya kabinet ini membuat program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas nasional baik di bidang politik,ekonomi, sosial maupun keamanan terganggu. Kondisi ini membuat Presiden Soekarno, dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa “sangat gembira apabila para pemimpin partai berunding sesamanya dan memutuskan bersama untuk mengubur partai-partai”. Soekarno bahkan dalam lanjutan pidatonya menekankan untuk melakukannya sekarang juga. Pernyataan Soekarno membuat hubungannya dengan Hatta semakin renggang yang akhirnya dwi tunggal menjadi tanggal ketika Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. (Anhar Gonggong, 2005) Perlu kalian ketahui pula bahwa Soekarno Hatta merupakan pemimpin dengan dua tipe kepemimpinan yang berbeda. Herberth Feith menyebut Soekarno sebagai pemimpin yang bertipe solidarity maker (pembuat persaudaraan/persatuan). Soekarno berpendapat bahwa revolusi itu belum selesai, sehingga perlu membuat simbol-simbol untuk menyatukan rakyat untuk menjalankan revolusi. Sedangkan Hatta oleh Feith disebutnya pemimpin dengan tipe administrator. Hatta berpendapat bahwa revolusi itu sudah selesai, untuk itu kita harus segera membangun negeri ini dengan mencari solusi agar pembangunan bisa berjalan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar